Sumbawa Besar, Gaung NTB – Pembalakan hutan mangrove (bakau) yang berlokasi di Desa Usar Mapin dan Desa Labuhan Mapin Kecamatan Alas Barat marak terjadi beberapa tahun terakhir. Keresahan masyarakat diperparah dengan tidak hadirnya stakeholders terkait saat masyarakat mengadu. Akibat sering ditebangi, hutan bakau ini kondisinya semakin memprihatinkan. Mirisnya lagi para pelaku merupakan warga yang bermukim di sekitar area hutan tersebut. Hal ini dikatakan Concong Bagenda (65) warga Usar Mapin pemerhati lingkungan sekaligus penggagas penanaman bakau secara swadaya sejak tahun 1988 kepada Gaung NTB, Selasa (16/2) di Kantor Badan Penanaman Modal dan Lingkungan Hidup.
Menurutnya, pengaduan sudah seringkali disampaikan kepada aparat terkait seperti kepolisian Sektor Alas Barat dan Pimpinan UPT. PPH Puncak Ngengas Kecamatan Alas sebagai perpanjangan tangan Dinas Kehutanan dan Perkebunan di kecamatan, namun pengaduan itu tidak pernah ada solusinya.
“Saya ingin masyarakat yang membabat hutan mangrove tersebut dihukum sesuai UU yang berlaku, selama saya mengadu, saya selalu bawa bukti tetapi tidak ada hasilnya, lantas ke siapa lagi saya mengadu? Apabila satu orang saja mendapat sanksi maka masyarakat lainnya tidak akan berani lagi melakukan penebangan liar,” katanya.
Disebutkan Daeng, akrab bapak ini disapa, pembabatan mangrove biasanya dilakukan orang-orang yang tidak bertanggung jawab tersebut saat hari Jum’at ataupun hari-hari lain ketika dirinya tidak ada dilokasi.
“Saya tidak sendiri sebagai orang yang menanam mangrove tersebut. Saya dibantu oleh teman saya seorang tuna netra Kaharudin (60) serta istri dan anak-anak saya, namun kami selalu kecolongan oleh masyarakat yang membabat hutan itu, bahkan kami sering diancam pelaku pakai parang,” akunya.
Lebih jauh sambungnya, apabila dihitung dengan rupiah kayu bakau yang ditebang itu tidak juga dibeli dengan harga mahal hanya berkisar Rp 25-50 ribu saja tetapi itulah anehnya banyak masyarakat menebang dengan alasan membuat rumah, kandang ternak dan lain-lain.
Bagi Daeng, pengaduannya kepada Camat Alas Barat Iwan Sofian sangat berkah, saat mengadu kepadanya, Pak Camat tidak berkata dan mendengarkan saja, selang beberapa hari, dia menginformasikan tentang penghargaan Kalpataru 2016 bagi pencinta lingkungan hidup di BPM-LH
“Saya tidak butuh penghargaan atau pujian jempol, tetapi saya butuh kamera dan sampan untuk dapat memantau kondisi disekitar area hutan. Hal itu agar foto-foto itu bisa jadi bukti saat dirinya menjumpai penebang liar meski itu semua belum terealisasi, namun saya senang bapak Camat mendengar keluhan saya,” harapnya.
Sebelumnya, Daeng memaparkan, bahwa hutan mangrove ini dahulunya pada tahun 1988 adalah laut dengan kedalaman 100 meter, hingga dia merasa memiliki panggilan hati untuk menanam bakau, hinggga tahun 2002 ada bantuan dari Dinas Kehutanan untuk pemeliharaan dan penanaman hutan bakau, namun meski bantuan tidak ada lagi sampai sekarang dirinya tetap menanam bakau.
Sekarang ini lanjutnya, lokasi rawan abrasi tersebut sudah menjadi daratan yang terbentang sepanjang 1000 meter dari batas bibir pantai di dua desa dan telah ditanami sejumlah tanaman seperti pisang, kelapa dan lain-lain.
“Saya ingin mengajak masyarakat untuk peduli dengan lingkungan, agar anak cucu kita kedepan bisa merasakan alam seperti sekarang ini,” pinta Daeng.
Hingga berita ini naik cetak, telpon seluler Camat Alas Barat Iwan Sofian, SSos tidak bisa dihubungi untuk konfirmasi.